untuk anak-anaku ananda "Langit dan Dzaky"
Nak, ayah sengaja bawa kamu ke sini karena mau ngomong
serius sama kamu. Sekarang kamu sudah baligh. Kamu relatif sudah bisa
membedakan yang benar dan yang enggak. Tapi kamu masih terlalu muda
buat kenal dunia secara luas, seluas laut dan langit di depan kamu itu.
Nak, apa kamu pernah
menerka kenapa ayah sangat membatasi kamu nonton TV, kenapa ayah sering
potong kabel TV yang baru dibeli ibumu? Apa kamu tahu kenapa ayah
sering ajak kamu menjauhi keramaian, kenapa ayah sering banting pemutar
musik kamu? Kamu tahu, nak? Itu karena ayah sayang kamu dan gak mau
kamu jadi orang-orang bentukan media mainstream yang gak islami.
Pada
umumnya mereka itu bikin kamu tahu dalam ketidaktahuan. Kamu jadi tahu
cara bikin orang ketawa, cara supaya dunia melihat kamu, cara
berbahasa yang up to date, dan cara tetap ikut tren. Kamu jadi tahu si
artis anu lagi bunting 7 bulan. Kamu dijejali dengan
informasi-informasi gak penting, se-gak penting artis anu baru ngerayain
ulang tahunnya di Food Court Pondok Indah Mal.
Tapi
nak, kamu gak diajarin kamu harus gimana kalau kamu mimpi basah, apa
yang harus kamu lakukan kalau mau nikah tapi belum siap. Kamu gak
diajarin bahwa onani itu masuk dalam tujuh dosa besar. Kamu gak
diajarin cara milih calon pasangan hidup yang benar, apa kriterianya.
Kamu
jadi tahu batasan HAM tapi tidak hukum islam. Kamu jadi tahu cara
ngitung PPn, tapi ngitung zakat kebun kamu sendiri aja bingung. Kamu
jadi tahu di Bangladesh itu orang kebanjiran terus, tapi kamu malah gak
tahu komplek sebelah kita juga kebanjiran. Siaran setengah jam
pagi-pagi itu jelas kurang nak. Bahkan kamu sama sekali gak dibikin
ngerti cara baca Quran. Bedain “fa” sama “qof” aja gak bisa, gimana mau
paham, anakku?
Kamu nanti malah jadi bingung, di TV diajarin
menikah sama anak di bawah umur itu bejat gak ketulungan, apa kamu mau
bilang Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah umur 6 tahun itu bejat? Di TV
diajarin makan jilat tangan itu gak sopan, tapi di hadits kamu temui
sunahnya itu malah jilat tangan. Di TV diajarin kalau ketemu orang itu
salaman, padahal di hadits yang kamu pelajari, lebih baik kamu ditusuk
besi panas daripada bersentuhan dengan bukan mahrom. Di TV disiarkan
bahwa lesbi dan homo itu manusiawi dan sudah lazim, tapi di hadits,
mereka itu layak dihukum mati.
Ayah paling takut kamu mengarah
ke logika-logika praktis begitu. Ayah takut kamu menomorduakan Quran
Hadits karena gak logis menurut kamu. Camkan ini nak, agama itu bukan
dibangun dari logika, dan agama itu jauh dari kelogisan-kelogisan yang
ada di novel Sophi’s World, walaupun dia jadi best seller internasional
selama beberapa tahun. Nak, Al-Quran itu sudah jadi super best seller
se-semesta selama belasan abad.
Kalau agama ini menuruti
kelogisanmu, gak akan ada cerita 313 pasukan islam dengan perbekalan dan
senjata yang jauh dari memadai bisa menang melawan 1.000 pasukan kafir
dengan perbekalan dan senjata yang berlebihan waktu perang Badr. Gak
akan ada cerita pasukan islam masih bertahan di perang Khandaq setelah
dikepung dari segala penjuru. Gimana mungkin ada bantuan angin dalam
perang di abad ketujuh? Nonsense! Itu semua gak akan masuk ke logikamu,
nak.
Kamu akan wudhu dengan membasuh duburmu kalau kamu mau
ikut logika, tapi bukan begitu yang diajarkan, nak. Kita gak tahu
apa-apa. Keimanan itu bukan kelogikaan. Iman itu artinya percaya.
Percaya bahwa aturan itu tepat walau gak masuk logika kamu.
Itu
kenapa kamu harus mendalami Quran Hadits dengan mantap. Kamu tahu kan,
bahwa ilmu yang wajib dicari itu ada tiga: ayat yang menghukumi, sunah
yang ditegakkan, dan ilmu hukum waris. Intinya kamu wajib belajar Quran
Hadits. Ilmu yang di luar itu statusnya cuma ilmu tambahan. Ayah sama
sekali bukan melarang kamu sekolah sampai title kamu 10 biji, kalau
ada. Sekolahlah tinggi-tinggi, cari ilmu sebanyak-banyaknya, itu
positif.
Ayah cuma takut, kamu bisa menghitung bulan itu tepat
ada di atas kepala kamu pada tanggal berapa jam berapa, tapi kamu
kebingungan ngitung waris waktu ayahmu ini meninggal. Ayah takut kamu
bisa fasih luar biasa berbahasa Inggris, tapi salam aja ngomongnya
“semlekum”. Ayah gak mau kamu hapal irregular verb dan certain
adjective, tapi gak hapal siapa saja mahrom kamu.
Ayah gak mau
kamu bisa bedain processor bagus dan enggak, bisa bedain awan cumulus
dan nimbus, bisa bedain membran sel dan membran mitokondria, tapi kamu
gak bisa bedain halal-haram dan suci-najis. Dan hal-hal semacam itu.
Ayah takut kamu kuasai dunia tapi gak ngerti hukum islam, nak.
Ayah
gak kebayang, pasca tiada nanti kamu jawab apa waktu ditanya, “Kenapa
dulu kamu lebaran duluan dibanding tetanggamu?” Apa kamu bakal jawab,
“Abis di tanggalan lebarannya tanggal segitu, saya kan gak tahu aturan
sebenarnya gimana.” Terus ditanya lagi, “Lantas, kenapa kamu tidak cari
tahu ilmunya?” Apa kamu berani jawab begini, “Saya kan mau sekolah
sampai S3, mau punya rumah besar, mau jadi anggota dewan, target saya
banyak, jadi belum sempat mendalami islam.” Berani?
Al ‘ilmu
qobla ‘amal, nak. Beramal setelah kamu punya ilmunya, jangan
sembarangan ikut-ikutan. Orang tahlilan kamu ikut tahlilan. Orang
pacaran kamu ikut pacaran. Aduuuh, nak. Jangan. Jangan jadi orang yang
“qila wa qola”, masih gak jelas dasarnya, eh malah disampaikan. Jangan
katanya katanya. Kamu harus tahu betul apa dalilnya, hukumnya gimana,
baru bisa melakukan atau menanggapi sesuatu. Kamu tahu kan, qila wa qola
itu termasuk satu dari tiga hal yang dibenci Allah? Coba buka lagi
kitab Muslim kamu.
Dalamilah ilmu agama, nak. Malaikat akan
membentangkan sayap-sayapnya karena senang padamu yang sedang mencari
ilmu. Sampai ikan-ikan di lautan, semua mendoakanmu, nak. Kalau kamu
jadi pengajar dan pengamal Al-Quran, ayah bakal dapat mahkota emas yang
terangnya lebih dari matahari. Itu jauh lebih membanggakan dari ayah
dipanggil mau diberi penghargaan karena kamu meraih nobel. Ayah dapat
mahkota, kamu tentu dapat lebih dari itu, nak.
Setelah ilmumu
kuat, aplikasikan, sebarkan, dan perjuangkanlah semaksimal yang kamu
bisa, nak. Jangan takut cacian orang. Jangan menyerah walau sedunia ini
memusuhi kamu. Gigit agamamu dengan gigi geraham. Lebih baik kamu hidup
dengan ngangon kambing di Gunung Leuser sana ditemani 200 harimau
sumatera daripada kamu hidup makan enak dan mudah tapi gak bisa
aplikasikan agamamu.
Nak, dari dulu orang hebat itu selalu
dianggap asing di zamannya. Itu bukan berarti kamu harus menjadi asing,
nak, bukan. Tapi, risiko kamu “diasingkan” masyarakat itu besar kalau
kamu bawa nilai-nilai baru, atau nilai-nilai lama yang dianggap baru.
Anak
muda seperti kamu punya tenaga dan semangat yang jauh lebih besar
daripada orang tua kayak ayah begini. Ibnu Umar, pada usia 13 tahun
ingin ikut dalam Perang Badr, tapi dilarang, nak, karena masih terlalu
muda. Ia akhirnya ikut dalam perang Khandaq pada umur 15 tahun. Sejak
belia, beliau senang mencari ilmu, nak. Beliau menjadi periwayat hadits
kedua terbanyak setelah Abu Hurairoh.
Kamu tentu sering dengar
Ali bin Abi Thalib, anakku. Beliau sudah menjadi bintang lapangan pada
Perang Badr, saat usianya masih sekitar 25 tahun. Beliau menjadi
pimpinan pasukan Perang Khaibar, beberapa tahun kemudian, yang akhirnya
menang gemilang. Beliau yang membunuh Marhab, panglima besar Yahudi.
Semua dalam usia belia, anakku.
Imam Bukhori yang menyusun
hadits tershahih sampai sekarang, beliau mulai berkelana pada umur 16
tahun. Jiwa muda yang tetap teguh belasan tahun menghimpun hadits-hadits
shahih. Kamu tahu apa yang terjadi pada Imam Bukhori, anakku? Beliau
diusir dari kampung dan menjadi musuh banyak orang pada zaman itu. Tapi
itu tidak membuatnya gentar.
Selanjutnya giliran kamu yang meneruskan perjuangan. Selamat berjuang.
BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHO ILLAHI.